Jumat, 22 Agustus 2008

Kebijakan Sosial (Bag 1)

KEBIJAKAN SOSIAL (BAG 1)

Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ’kebijakan’ dan kata ’sosial’. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan tertentu, karena itu kebijakan, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Seperti halnya kata kebijakan, kata sosial pun memiliki beragam pengertian; Conyers (1992) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian: (1) Pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan; (2) Lawan kata individual; (3) Lawan kata ekonomi; (4) Melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang; dan (5) Berkaitan dengan hak asasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara generik atau luas maupun spesifik. Secara generik, kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang pendidikan, kesehatan politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial disini menyangkut program dan pelayanan sosial untuk mengatasi masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidak berfungsian fisik dan psikis, tuna sosial, kenakalan remaja.

Dalam penelitian ini, istilah kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Conyers (1992), bahwa perencanaan sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara. Pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).

Beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Hutman, Magill, Spicker dan Hill (Suharto, 2005: 10) juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer) serta fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986), kemudian beberapa pendapat lain mengenai kebijakan sosial:

1. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall, 1986)

2. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).

3. Kebijakan sosial adalah strategi tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981)

4. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam yang luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang merujuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan koleksi tertentu kaitannya koleksi tertentu guna melindungi kesejahtreraan rakyat (Spicker, 1995)

5. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat (Hill. 1996) )

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik yang bertujuan untuk menangani permasalahan sosial dan dalam pemenuhan kebutuhan sosial bagi masyarakat.

Kata sosial yang didefinisikan oleh para ahli tersebut, menunjukkan pada ’manfaat-manfaat’ atau ’bantuan-bantuan’ kesejahteraan sosial (social welfare benefits). Manfaat dan bantuan kesejahteraan sosial yang tercakup dalam pengertian ini antara lain meliputi: perlindungan sosial (social protection) bagi kelompok-kelompok rentan dan tidak beruntung; jaminan sosial (social security) baik yang berbentuk bantuan sosial (Social assistance) maupun asuransi sosial (social insurance); program pemeliharaan penghasilan; pelayanan kesehatan; rehabilitasi sosial para penderita cacat, eks narapidana, wanita atau pria tuna susila atau eks penderita penyakit kronis, perawatan kesehatan mental; pendidikan dan pelatihan bagi penganggur; pelayanan bagi manusia yang berusia lanjut; perawatan dan perlindungan anak; konseling perkawinan dan keluarga; serta pelayanan rekreasi dan pengisian waktu luang.

Huttman (1981), Gilbert dan Specht (1986, dalam Suharto, 2005:11-12) melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan sosial sebagai proses (process), sebagai produk, dan sebagai kinerja atau capaian (performance). Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada tahapan perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosio-politik dan metodologik. Kebijakan sosial merupakan tahapan untuk membuat sebuah rencana tindakan (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan, sampai pada evaluasi terhadap pengimplementasian kebijakan. Magill (1986) memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai proses ini sebagai pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy formulation).

Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian ini kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundang-undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek. Dimensi kedua dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai rumusan strategi (frormulated strategy), atau merujuk pada pendapat Kahn (1973), sebagai suatu rencana induk (standing plan). Perlu dijelaskan di sini bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundang-undangan, tetapi dapat pula berbentuk naskah kebijakan atau policy paper, atau dalam tradisi negara-negara barat biasanya dikenal dengan nama white paper dan green paper.

Sebagai suatu kinerja (performance), kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil-hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini menyangkut kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang-undangan atau suatu program. Secara khusus, dimensi ketiga kebijakan sosial ini seringkali diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (social policy analysis) (Dunn, 1981; Quade, 1982, dalam Suharto, 2005:12).

Kebijakan sosial di negara-negara barat sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Seperti negara-negara Skandinavia diantaranya Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Perancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ’negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang medik untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin)

Tabel 2.1

Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Publik

ASPEK

GOVERNMENT

GOVERNANCE

PROSES PERUMUSAN

Pemerintah

KEBIJAKAN

1. Pemerintah

2. Stakholder

3. Analisis Kebijakan

4. Independent Think Thank

PENETAPAN KEBIJAKAN

Pemerintah

Pemerintah

ANALISIS KEBIJAKAN

1. Pemerintah

2. Public Contractor

3. Government

Think Thank

1. Stakeholder

2. Analisis Kebijakan

3. Independent Think Thank

Sumber : Suharto, 2003

Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh tabel 2.1, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintah) ke governance (tata kelola), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari ’penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ’bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.

Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.

Gambar 2.1. Tujuan Kebijakan Sosial

Tujuan pemecahan masalah itu mengandung arti mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada sesuatu keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian yang bersifat destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan masyarakat (misalnya kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi masalah, atau mencegah meluasnya masalah) atau pengembangan (meningkatkan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya). Secara lebih rinci, tujuan kebijakan sosial (Suharto, 2005:60), adalah:

1. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

2. Memenuhi kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.

3. Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor internalnya-personal ataupun eksternal-struktural.

4. Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan martabat manusia.

5. Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.

Mengacu pada Dunn (1991), analisis kebijakan sosial adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam analisis masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab dan akibat suatu kebijakan. Analisis kebijakan sosial, merujuk Quade (1995), adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif terhadap perbaikannya. Kegiatan analisis kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu atau masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang akan ataupun telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekedar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak kebijakan terhadap kehidupan masyarakat.

Analisis kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis akurat mengenai konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto, 2004a; lihat Sheafor, Horejsi dan Horejsi, 2000). Menurut Dunn (1998: 117-123) ada tiga model analisis kebijakan, yaitu model porspektif, retrospektif dan model integratif.

1. Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi kebijakan ’sebelum’ suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik peramalan (forecasting)

2. Model retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat kebijakan ’setelah’ suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan

3. Model integratif adalah model perpaduan antara kedua model itu. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik ’sebelum’ maupun ’sesudah’ suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melihat teknik peramalan dan evaluasi secara terintegrasi.

Penelaahan terhadap kebijakan sosial, yang menggunakan model prospektif, retrospektif, dan integratif, didasari oleh prinsip atau patokan umum yang membentuk kerangka analisis. Kerangka analisis tersebut secara umum berpijak pada dua pedoman, yaitu ’fokus’ dan ’parameter’ analisis. Analisis kebijakan dapat difokuskan kedalam berbagai asas. Namun, tiga fokus utama yang umumnya dipilih dalam analisis kebijakan sosial meliputi:

1. Definisi masalah sosial. Perumusan atau pernyataan masalah sosial yang akan direspon atau ingin ditanggulangi oleh kebijakan.

2. Implementasi kebijakan sosial. Pernyataan mengenai cara atau metode dengan mana kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan. Implementasi kebijakan juga mencakup operasi alternatif kebijakan yang dipilih melalui beberapa program atau kegiatan.

3. Akibat-akibat kebijakan sosial. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi kebijakan atau akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan sosial. Konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan bisa bersifat positif (manfaat) maupun negatif biaya. Akibat kebijakan bisa diprediksi sebelum kebijakan diimplementasikan (model prospektif), sesudah diimplementasikan (model retrospektif), ataupun sebelum dan sesudah diimplementasikan (model integratif).

Dalam analisis ketiga fokus tersebut, diperlukan pendekatan atau parameter analisis yang dapat dijadikan basis bagi pengambilan keputusan atau pilihan kebijakan.

1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis yang dilakukan. Penelitian dan rasionaliasasi merupakan dua aspek yang berbeda, namun saling terkait. Penelitian menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dan eksperimen yang dapat membantu membuat pilihan-pilihan kebijakan. Rasionalisasi menunjuk pada logika dan konsistensi internal. Misalnya, apakah berbagai bagian kebijakan berkaitan secara rasional? Apakah kebijakan sudah bersifat konsisten secara logis dan internal?

2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai baik dan buruk. Nilai-nilai merupakan keyakinan dan opini masyarakat mengenai baik dan buruk. Nilai juga merupakan sesuatu yang diharapkan atau kriteria untuk membuat keputusan mengenai sesuatu yang diharapkan.

3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan dan stabilitas. Politik berkenaan dengan suatu cara bagaimana kebijakan-kebijakan dirumuskan dikembangkan dan diubah dalam konteks demokrasi. Lebih khusus lagi, politik menunjuk pada individu-individu dan kelompok-kelompok kepentingan yang berpartisipasi atau berusaha mempengaruhi proses perumusan dan pengembangan kebijakan.

Kerangka analisis Quade (1995:172-173) memberikan pedoman dalam menelisik masalah sosial, implementasi kebijakan sosial dan akibat kebijakan dilihat dari segi parameter penelitian, nilai dan politik.

DAFTAR BACAAN

Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lemlit Unpad.

Dunn, William N, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, diterjemahkan oleh Samudra Wibowo. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

­Suharto, Edi. 2003. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. STKS. Bandung.

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung-Puslit KP2W Lemlit Unpad.

Tidak ada komentar: