Jumat, 22 Agustus 2008

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI TENAGA KERJA

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI TENAGA KERJA

Ratusan tahun yang lalu, Confucius memberi nasihat, “Carilah pekerjaan yang Anda senangi, maka seumur hidup Anda tidak perlu lagi menyebut Anda bekerja”. Namun apa yang kita saksikan? Kita dibesarkan dalam lingkungan yang mengajarkan mitos: kerja adalah beban, kerja adalah tugas berat yang harus dipikul. Apalagi keadaan sekarang kerja adalah seuatu yang langka bahkan sesuatu yang harus diperebutkan dengan berbagai cara.

Prof. Amartya Kumar Sen, ekonom Asia pertama penerima hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi pada tahun 1998, menyajikan secara meyakinkan konsepnya mengenai pembangunan, yakni sebagai upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat, dalam pandangannya ini peluasan kebebasan dipandnag sebagai tujuan utama pembangunan. Dalam bukunya yang lebih dulu, Poverty and Famines-An Essay on Entitlement and Deprivation, yang dipublikasikan pada 1981, Profesor Sen mengkritik pandangan tradisional yang menyatakan bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya persediaan pangan (pandangan FAO). Namun profesor Sen tidak melulu memusatkan perhatian kepada persediaan pangan (seluruh pasokan pangan dalam ekonomi) dalam menganalisis penyebab bencana kelaparan; dia menyatakan bahwa perhatian harus dipusatkan pada entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang, yaitu komoditas yang dapat digunakan untuk membangun kepemilikan dan kekuasaan. Orang akan menderita kelaparan bila dia tidak dapat membangun entitlement atas jumlah pangan yang cukup. Bagi mayoritas penduduk negara berkembang, entitlement ini hanya ditentukan oleh sumber yang dimiliki, yaitu tenaga kerja (Thee Kian Wie, 2004:5).

Tenaga kerja menjadi masalah utama bagi negara-negara berkembang, karena hampir disetiap negara berkembang angka pengangguran dimulai setelah masa krisis ekonomi pada tahun 1997, mengakibatkan menghilangnya lapangan pekerjaan yang biasa menjadi sumber pencaharian bagi masyarakat.

Kita ingat beberapa kasus deportasi tenaga kerja Indonesia ilegal belum usai. Ribu-ribut kasus TKI ilegal yang berujung pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia itu memang membuahkan hasil, yakni penundaan kembali pelaksanaan razia dan deportasi menjadi mulai 1 Maret 2005. Juga ada upaya terkoordinasi oleh kedua pihak untuk memperlancar proses recycle tenaga kerja, sehingga para TKI yang sebelumnya berstatus ilegal ini bisa masuk kembali bekerja di Malaysia dalam status sebagai pekerja legal. Langkah recycle TKI ilegal hanya menyelamatkan mereka yang memang sudah terlempar atau tidak tertampung di pasar kerja di dalam negeri dan memilih mengadu nasib di negeri tetangga itu. Di samping mereka, masih ada lebih dari sepuluh juta penganggur di negara ini. Itu baru penganggur terbuka, belum termasuk mereka yang setengah menganggur. Kunci penyelesaian dari semua masalah itu adalah penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.

Menjadi pekerjaan yang berat mengingat lapangan pekerjaan menjadi kunci penting agar meningkatnya tingkat IPM (Index Pembangunan Manusia), menurut data Bank Dunia tahun 2003, IPM bangsa Indonesia berada pada peringkat ke 110 daro 173 negara yang diukur, sedangkan dalam lingkup negara-negara ASEAN Indonesia berada di posisi ke tujuh dari tujuh negara yang diteliti. Kondisi seperti ini merupakan akumulasi dari rendahnya pendidikan terutama tingkat dasar, pemeliharan kesehatan masyarakat yang belum terlaksana dengan baik, yang semua diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, kemudian lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor penting, terutama dalam meningkatkan pendapatan mereka agar dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Kondisi inilah yang selalu dihadapi oleh negara-negara berkembang salah satunya Indonesia, biasa dikatan lingkaran setan (vicious cyrcle) yang oleh pakar disebut dengan istilah kemiskinan struktural. Minimnya lapangan kerja menyebabkanrendahnya produktivitas yang menyebabkan rendahnya pendapatan dan menyebabkan rendahnya tingkat abungan yang menyebabkan rendahnya invetasi yang akhirnya kembali menyebabkan minimhnya lapangan pekerjaan.

Namun tidak menutup kemungkinan ini juga disebabkan oleh kemiskinan kultural seperti budaya malas, tidak kreatif atau berusaha untuk mencari peluang-peluang yang ada. Hingga peluang kerja yang semakin kecil ditambah tidak siapnya para pencari kerja menyebabkan beban untuk mendapatkan kerja menjadi berat dan sangat sulit. Dengan bergesernya paradigma dari Government menjadi Governance maka masalah ini menjadi tidak hanya tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah tetapi bersama-sama dalam stakeholder yang terlibat dalam kepentingan ketenaga kerjaan untuk membuka peluang kerja sebanyak-banyaknya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mempertanyakan kembali kebijakan ekonomi dan pembangunan, yang ditempuh pemerintah selama ini. Benarkah kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar menciptakan lapangan kerja? Membicarakan arah kebijakan pembangunan ekonomi, berarti juga mempersoalkan pilihan-pilihan sektor dan juga industri-industri yang menjadi prioritas dalam pembangunan ke depan.

Kebijakan Tenaga Kerja Indonesia

Kinerja pemerintah dalam memperbaiki kondisi perburuhan dan pasar kerja bisa dibilang masih jauh dari harapan. Buruh kian hari kian marjinal, sementara pasar kerja juga makin tak jelas. Gejala paling mengkhawatirkan adalah tambahan penganggur yang melebihi kesempatan kerja. Penutupan pabrik sepatu besar di Tangerang (Dong Joe) dan Bekasi (Tong Yang) yang memiliki 18.000 tenaga kerja, menambah panjang deretan penganggur. Kondisi ini jelas kontradiktif dengan janji pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran.

Dalam konteks memahmai cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia untuk mewujudkan makmur dalam kebersamaan, dan bersama dalam kemakmuran, dalam suatu perekonomian pasar, maka perumusan tiga tujuan kebijakan makro ekonomi (pertumbuhan, stabilitas dan kesempatan kerja), kemudian diterjemahkan menjadi trilogi pembangunan (pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan).

Bahkan dalam pembukaan UUD 1945 menekankan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan dimana tugas negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui layanan publik, dengan memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan tentu salah satunya adalah memberikan seluas-luasnya kesempatan kerja bagi rakyat.

Namun demikian ternyata belum mampu menghindarkan proses marginalisasi yang telah terjadi terhadap sekelompok warga bangsa akibat politik pembangunan yang bias pertumbuhan, dan stabilitas yang mengekang. Persoalan yang dihadapi oleh kerangka teori ekonomi ternyata bukan pada kerangka penjelasan dan kemampuan melakukan prediksi, tetapi juga terletak pada pengukuran tentang output. Jika prima kausa utama kemiskinan adalah pengangguran, dan ketidak adilan berpangkal dari banyaknya orang miskin, maka dalam trilogi juga sama pentingnya untuk menempatkan usaha menghilangkan kemiskinan sebagai bagian dari tujuan makro sebagai penajaman dari pemerataan. Standard textbook menyebutkan kesempatan kerja, sedangkan dalam politik pembangunan lima-tahunan diterjemahkan menjadi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka sebagai penjabaran indikator pencapaiannya adalah pengurangan angka penduduk miskin (Soetrisno, 2003:22).

Kebijakan pembangunan ketenagakerjaan dan transmigrasi dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran harus diarahkan pada perluasan lapangan kerja baik lokal, regional maupun luar negeri. Inilah salah satu janji pasangan presiden dan wakilnya dalam kampanye pemilu 2004 lalu. Pemerintah menargetkan angka pengangguran terbuka bisa ditekan dari sekitar 10 juta orang pada tahun 2004 menjadi 9,5 persen dari angkatan kerja tahun 2005 (9,9 juta orang); 8,9 persen (9,4 juta orang) tahun 2006; 7,9 persen (8,5 juta orang) tahun 2007; 6,6 persen (7,3 juta orang) tahun 2008; dan 5,1 persen (5,7 juta orang) tahun 2009. Artinya, dalam lima tahun, angka pengangguran ditargetkan turun hingga sekitar separuhnya (Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005).

Total angkatan kerja sendiri diproyeksikan meningkat 1,9 persen per tahun, yang berarti setiap tahun 2,0-2,5 juta angkatan kerja baru masuk ke pasar kerja. Sementara, kesempatan kerja diproyeksikan pemerintah meningkat 2,9 persen per tahun selama kurun 2005-2009.

Lapangan kerja di sektor pertanian ditargetkan meningkat 2 persen per tahun. Sementara, lapangan kerja di sektor manufaktur ditargetkan tumbuh 3,9 persen per tahun dan sektor lainnya 3,7 persen. Bisa dicapai atau tidaknya target-target itu akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah di masing-masing sektor tersebut.

Untuk sektor pertanian saja, menurut Data Departemen Pertanian, sekitar 46,3 persen dari total angkatan kerja tahun 2003 diserap oleh sektor ini. Itu berarti, sekitar 46,3 juta tenaga kerja. Jika mengacu pada target pertumbuhan penyerapan lapangan kerja pemerintah, berarti setiap tahun sektor ini diharapkan menyerap tambahan 0,92 juta pekerja. Target ini konsisten dengan target pertumbuhan sektor pertanian yang ditetapkan pemerintah sebesar 3,2-3,8 persen per tahun selama kurun 2005-2009.

Yang menjadi persoalan, sampai sekarang belum terlihat adanya tanda-tanda bahwa pemerintah memang serius menangani sektor pertanian yang dewasa ini menjadi tumpuan hidup 25,6 juta keluarga petani atau sekitar 125 juta penduduk Indonesia dan setiap tahun diharapkan mampu menyerap hampir satu juta angkatan kerja baru itu.

Badan Pusat Statistik menyebutkan, sementara pada 2001 pengangguran terbuka masih 8,1 persen, tahun berikutnya terus membumbung hingga pada 2005 mecapai 10,26 persen. Memang tingginya pengangguran merupakan ‘warisan’ pemerintah sebelumnya. Dalam lima tahun terakhir, angkatan kerja bertambah sekitar 2 juta orang per tahun suatu yang sejalan dengan pertambahan penduduk usia kerja. Pada 2001, angkatan kerja msaih sekitar 98,8 juta orang. Pada 2005 jumlah itu meningkat menjadi 105,8 juta orang. Disisi lain, pertumbuhan kesempatan kerja (penduduk bekerja) lebih lambat dari pertumbuhan angkatan kerja. Akibatnya, pengangguran terbuka terus naik. Setahun pertama pemerintahan sekarang, pengangguran terbuka mencapai 10,26 persen. Pada 2006 ini diperkirakan terus melonjak mendekati 11 persen.

Berdasarkan data BPS pada tahun 2006 dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 225.465.000 jiwa, jumlah angkatan kerja sekitar 106.390.000 jiwa, sedangkan daya serap lapangan kerja sekitar 95.460.000 jiwa. Melihat data tersebut maka nampak angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2006 cukup tinggi hampir mendekati angka 11.000.000 jiwa.

Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), antara Februari 2005 dan 2006, penduduk usia kerja tumbuh dari 155,6 juta orang menjadi 159,3 juta orang atau terjadi peningkatan sebesar 2,38 persen. Sementara angka angkatan kerja naik dari 105,8 juta orang menjadi 106,3 juta orang (0,45 persen), atau naik 13 persen dari tambahan penduduk usia kerja. Maka berkurangnya penduduk usia kerja yang masuk ke dalam pasar kerja menunjukkan kegagalan pemerintah dalam merangsang pasar kerja.

Hal yang terkait dengan fenomena jobless grouth dalam ketenagakerjaan di Indonesia. Selama lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi meningkat, bahkan melampaui lima persen pada tahun 2004 dan 2005. Tapi hal ini tidak diikuti dengan penyerapan kesempatan kerja yang sepadan. Nilai elastisitas kesempatan kerja di Indonesia sangat rendah, bahkan bernilai negatif untuk sektor industri dan sektor lainnya pada tahun 2003. Kemampuan sektor industri menyerap kesempatan kerja semakin turun, sementara sektor pertanian dan sektor jasa dibebani tugas penyerapan kesempatan kerja.

Secara sederhana, kegagalan pemerintah dalam merangsang pasar kerja dapat dilihat dalam dua kasus berikut: Pertama, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun cuma parkir di Bank Indonesia. Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah daerah), lebih dari Rp 40 triliun nongkrong dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana menganggur ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja yang ada.

Kedua, pola pembangunan yang bias kota. Data Sakernas Februari 2005 dan 2006 menunjukkan tambahan penduduk usia kerja di desa sebesar 70 persen, sementara di kota hanya 30 persen. Kebijakan industrialisasi dan pembangunan yang bias kota berakibat pada laju angka urbanisasi dan fenomena proletariasi yang hebat. Jangan heran jika jawaban para pencari kerja dari desa adalah “mengadu untung di kota”, sebuah jawaban klasik, karena tidak adanya kesempatan kerja di desa.

Di sisi lain, kondisi ketenagakerjaan juga tak mengalami perbaikan seiring dengan janji demokratisasi ekonomi. Kasus rencana revisi pemerintah terhadap Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, carut-marutnya pengelolaan dana buruh di Jamsostek, gaji hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial (PHI) yang hingga kini belum dibayar, hingga aksi-aksi demonstrasi buruh yang kian marak di berbagai wilayah merupakan fakta bahwa partisipasi buruh dalam manajemen (dua proses demokratisasi politik hubungan industrial) hingga kini masih jalan di tempat.

Bisa dikatakan, di era globalisasi-neoliberal saat ini, terdapat empat pemain penting penggerak ekonomi (global). Dua kelompok pertama adalah pemerintah dan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs), sementara dua kelompok terakhir adalah modal keuangan dan tenaga kerja. Dari keempat pemain itu, yang paling banyak mengambil manfaat adalah modal keuangan global, yang umumnya dikelola korporasi-korporasi global. Saat ini, pertumbuhan modal 500 perusahaan multinasional di dunia mencapai tujuh kali lipat dari 721 miliar dolar AS pada tahun 1971 menjadi 5,2 triliun dolar AS pada tahun 1991. Pada tahun 2005, modal keuangan global diprediksi telah berkembang menjadi 50,2 triliun dolar AS.

Kemudian persoalan ketenagakerjaan tidak semata terletak pada tingkat pengangguran terbuka, namun juga banyaknya angka setengah penagangguran. Setengah pengangguran didefinisikan sebagai orang yang bekerja tidak penuh (kurang dari 35 jam) dan masih bersedia menerima pekerjaan tambahan. Juga orang yang bekerja penuh tetapi memperoleh pendapatan yang sangat rendah, dan orang yang bekerja namun jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan jenis pendidikannya (BPS, 2001). Saat ini terdapat lebih dari 30 persen angkatan kerja setengah menganggur.

Fenomena yang menarik untuk dicermati dari angka setengah penganggur ini adalah relatif tinggi jumlah setengah pengangguran sukarela dibandingkan dengan tingkat setengah pengangguran terpaksa. Ini mencerminkan keputusasaan dalam mencari pekerjaan penuh waktu. Keputusasaan berarti aktivitas mencari pekerjaan penuh waktu terhenti sehingga, akibatnya, tingkat pengangguran terselubung semakin besar. Disamping angka pengangguran yang terus meningkat, tantangan lain yang dihadapi pemerintah adalah meningkatnya kesempatan kerja di sektor informal. Adapun sementara sektor formal stagnan atau terus turun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, share kesempatan kerja disektor formal belum beranjak dari kisaran 30 persen terhadap seluruh kesempatan kerja-kondisi yang berbeda dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi informalisasi ketenagakerjaan dari sektor yang memiliki produktivitas tinggi ke sektor produktivitas lebih rendah.

Melihat gambaran di atas, fokus kebijakan penciptaan kesempatan kerja Kabinet Indoensia Bersatu sesungguhnya masih tetap relevan, walaupun dalam dua tahun pertama pemerintahan, kabinet belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan pemerintah adalah: (i) menciptakan lapangan kerja formal atau modern seluas-luasnya, dan (ii) memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan dengan produktivitas tinggi.

Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, dimasa datang diperlukan revitalisasi dan investasi sektor-sektor ekonomi terpilih. Revitalisasi tersebut tidak hanya pada sektor pertanian, tetai juga pada industri padat karya, dan industri berorientasi ekspor. Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, dengan diperluasnya program pendampingan dan peningkatan kapasitas yang lainnya untuk menyambut pengembangan penyediaan kredit perbankan bagi usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu, sektor pendidikan formal dan informal termasuk pelatihan-pelatihan juga perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan potensi penyerapan tenaga kerja di sektor formal dan modern.

Selain investasi, hal yang juga penting diperhatikan adalah regulsai ketenagakerjaan yang mendukung ketersediaan infrastruktur, dan skema pemberian kredit yang memadai. Khusus untuk regulasi dibidang ketenagakerjaan, dibutuhkan regulasi ketenagakerjaan yang seimbang sehingga kebijakan tersebut memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja, khususnya disektor formal.

Maka perlu adanya perubahan struktur sosial dan ekonomi secara komprehensif dan menjadi sesuatu yang penting apabila kepntingan rakyat diutamakan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan.

Kesempatan Bekerja di Masa mendatang

Dilihat dari struktur, angkatan kerja di Indonesia masih didominasi oleh penduduk usia kerja yang berpendidikan rendah dan juga berketerampilan rendah. Namun, dilihat dari profil mereka yang menganggur, ada kecenderungan dalam beberapa tahun terakhir jumlah penganggur dengan jenjang pendidikan lebih tinggi semakin meningkat.

Dalam beberapa kasus, kondisi ini sering dikaitkan dengan kurikulum pendidikan di Indonesia yang memang tidak dirancang atau diarahkan secara khusus untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil siap pakai sesuai kebutuhan industri atau sektor-sektor yang ada. Sekolah-sekolah kejuruan yang ada, sebagian besar juga sulit berkembang karena tidak adanya dukungan fasilitas dan anggaran yang memadai Akibat dominasi tenaga kerja berketerampilan rendah ini, industri manufaktur yang berkembang cenderung juga hanya industri padat karya yang mengandalkan pada tenaga kerja murah, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan industri kayu.

Kondisi inilah yang dihadapi oleh para pencari kerja di Indonesia, mereka harus bersaing dengan kondisi kebijakan yang masih belum jelas keberpihakannya. Lapangan pekerjaan yang semakin kecil karena investasi yang makin turun. Maka diperlukan persiapan-persiapan bagi pencari kerja.

Bekerja bagi manusia adalah suatu kebutuhan, baik untuk aktualisasi diri maupun untuk mengarungi kehidupan di dunia. Bekerja pada dasarnya adalah hal yang sangatlah mudah dilakukan bagi setiap orang, melakukan suatu aktivitas tertentu sudah termasuk di dalam kamus bekerja. Saat ini, memang makin sulit mendapatkan pekerjaan, mengapa? Ada banyak sebab. Pertama, jumlah peluang kerja yang ada tak berimbang dengan jumlah pencari kerja. Kedua, kualitas lulusan sekarang ini baru siap tahu dan belum siap pakai atau lebih tepat siap kerja. Ketiga, paradigma telah bergeser. Rekruitmen tidak lagi atas dasar IQ tetapi juga EQ, bahkan sekarang faktor SQ. Faktor kepribadian, kematangan emosi dan spriritual ikut menjadi pertimbangan. Perlu diketahui, bahwa gelar tidak lagi menjamin untuk mendapatkan pekerjaan. Ya, gelar bukanlah tiket menuju dunia kerja.

Bahkan posisi tawar (bargaining position) lulusan sekolah menengah saat ini kecil sekali, bahkan nyaris tak ada. Banyak lulusan SMA yang bersedia bekerja apa saja dengan gaji seadanya. Walaupun mau bekerja apa pun, tetap saja mereka menemukan persaingan dunia kerja yang amat tinggi, tapi mereka pantang menyerah. Hal ini tidak berbeda dengan para lulusan sarjana. Mereka kurang memiliki nilai plus untuk menaikkan posisinya dalam mencari pekerjaan. Saya mengambil dari salah satu blog internet bahwa kita harus memiliki ”nilai plus” sebagai syarat untuk memenangkan peluang kerja. Nilai plus dapat berupa:

Pertama, penampilan yang meyakinkan, penuh percaya diri, mampu mengundang simpati. Dengan kata lain mampu menunjukkan kepribadian yang kuat. Kedua, memiliki kecakapan khusus seperti penguasaan bahasa asing dan juga komputer atau kecakapan lain yang menunjang atau memenuhi kebutuhan/tuntutan pasar kerja. Ketiga, pengalaman dalam organisasi atau dunia kerja. Keempat, pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kemudian para pencari kerja harus siap di segala sektor. Harus bersedia dan mampu ditempatkan di bagian apa saja. Siap ke luar daerah atau luar pulau bahkan luar negeri karena biasanya pencari kerja berjubel di kota-kota besar yang sudah padat dan sarat dengan penganggur. Sebagai strategi atau kiat menerobos dunia kerja, kita harus jeli mengantisipasi lowongan. Mengukur kemampuan, tidak menuntut gaji terlalu tinggi, bersedia di tempatkan di mana saja. Persyaratan lamaran kerja terpenuhi.

Mengenai lamaran kerja yang tak berbalas atau tanpa berita, memang bukanlah hal yang mengherankan. Sekarang ini banyak perusahaan yang melaksanakan penghematan di segala bidang termasuk tidak mau repot membuang perangko untuk membalas surat-surat lamaran yang ratusan jumlahnya. Tetapi surat lamaran yang menarik pasti mendapat perhatian dan tak akan dibuang. Karena itu, surat lamaran perlu dibuat sedemikian rupa sehingga punya daya tarik pada pandangan pertama. Kesan pertama sangat menentukan. Baik surat maupun penampilan dan sikap pada waktu wawancara.

Saat penantian atau sebelum berhasil mendapatkan pekerjaan, kita perlu mengisi waktu dengan berbagai upaya. Jangan sekali-kali menganggur. Tingkatkan kemampuan dengan mengembangkan wawasan, misalnya mengikuti berbagai pelatihan atau seminar. Bagi yang mampu dan memungkinkan bisa pula studi lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi yang lain bisa mencoba berwiraswasta karena kita harus siap untuk alih profesi bila perlu.

Selama memiliki kemampuan lebih untuk bersaing dalam dunia kerja, maka kebijakan pemerintah mengenai tenaga kerja bentuk apapun tidak akan mempengaruhi kerja kita, dengan kemampuan kita siap mengahdapi perubahan yang terjadi. Janganlah terlalu pusing memikirkan lapangan pekerjaan tetapi yang harus dipikirkan mulai dari sekarang sudah siapakah saya?

Daftar Bacaan :

Mohammad, Mahathir. A New Deal for Asia (Peran Baru Asia di Dunia). Jakarta: Handal Niaga Pustaka.

Soetrisno, Noer. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Soisal. Jakarta: STEKPI.

Wie, Thee Kian. 2004. Pembangunan, Kebebasan, dan ”Mukjizat” Orde Baru. Jakarta: Penerbit Kompas.

Kompas, edisi Sabtu, 19 Februari 2005

Tidak ada komentar: