Jumat, 22 Agustus 2008

Kebijakan Sosial (Bag 1)

KEBIJAKAN SOSIAL (BAG 1)

Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ’kebijakan’ dan kata ’sosial’. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt (1973), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan tertentu, karena itu kebijakan, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Seperti halnya kata kebijakan, kata sosial pun memiliki beragam pengertian; Conyers (1992) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5 pengertian: (1) Pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan; (2) Lawan kata individual; (3) Lawan kata ekonomi; (4) Melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang; dan (5) Berkaitan dengan hak asasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara generik atau luas maupun spesifik. Secara generik, kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup antara lain bidang pendidikan, kesehatan politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial disini menyangkut program dan pelayanan sosial untuk mengatasi masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidak berfungsian fisik dan psikis, tuna sosial, kenakalan remaja.

Dalam penelitian ini, istilah kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Conyers (1992), bahwa perencanaan sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara. Pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).

Beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Hutman, Magill, Spicker dan Hill (Suharto, 2005: 10) juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer) serta fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986), kemudian beberapa pendapat lain mengenai kebijakan sosial:

1. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall, 1986)

2. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).

3. Kebijakan sosial adalah strategi tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981)

4. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam yang luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang merujuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan koleksi tertentu kaitannya koleksi tertentu guna melindungi kesejahtreraan rakyat (Spicker, 1995)

5. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat (Hill. 1996) )

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik yang bertujuan untuk menangani permasalahan sosial dan dalam pemenuhan kebutuhan sosial bagi masyarakat.

Kata sosial yang didefinisikan oleh para ahli tersebut, menunjukkan pada ’manfaat-manfaat’ atau ’bantuan-bantuan’ kesejahteraan sosial (social welfare benefits). Manfaat dan bantuan kesejahteraan sosial yang tercakup dalam pengertian ini antara lain meliputi: perlindungan sosial (social protection) bagi kelompok-kelompok rentan dan tidak beruntung; jaminan sosial (social security) baik yang berbentuk bantuan sosial (Social assistance) maupun asuransi sosial (social insurance); program pemeliharaan penghasilan; pelayanan kesehatan; rehabilitasi sosial para penderita cacat, eks narapidana, wanita atau pria tuna susila atau eks penderita penyakit kronis, perawatan kesehatan mental; pendidikan dan pelatihan bagi penganggur; pelayanan bagi manusia yang berusia lanjut; perawatan dan perlindungan anak; konseling perkawinan dan keluarga; serta pelayanan rekreasi dan pengisian waktu luang.

Huttman (1981), Gilbert dan Specht (1986, dalam Suharto, 2005:11-12) melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan sosial sebagai proses (process), sebagai produk, dan sebagai kinerja atau capaian (performance). Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada tahapan perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosio-politik dan metodologik. Kebijakan sosial merupakan tahapan untuk membuat sebuah rencana tindakan (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan, sampai pada evaluasi terhadap pengimplementasian kebijakan. Magill (1986) memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai proses ini sebagai pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy formulation).

Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian ini kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundang-undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek. Dimensi kedua dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai rumusan strategi (frormulated strategy), atau merujuk pada pendapat Kahn (1973), sebagai suatu rencana induk (standing plan). Perlu dijelaskan di sini bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundang-undangan, tetapi dapat pula berbentuk naskah kebijakan atau policy paper, atau dalam tradisi negara-negara barat biasanya dikenal dengan nama white paper dan green paper.

Sebagai suatu kinerja (performance), kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil-hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini menyangkut kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang-undangan atau suatu program. Secara khusus, dimensi ketiga kebijakan sosial ini seringkali diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (social policy analysis) (Dunn, 1981; Quade, 1982, dalam Suharto, 2005:12).

Kebijakan sosial di negara-negara barat sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Seperti negara-negara Skandinavia diantaranya Denmark, Swedia, dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Perancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ’negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang medik untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin)

Tabel 2.1

Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Publik

ASPEK

GOVERNMENT

GOVERNANCE

PROSES PERUMUSAN

Pemerintah

KEBIJAKAN

1. Pemerintah

2. Stakholder

3. Analisis Kebijakan

4. Independent Think Thank

PENETAPAN KEBIJAKAN

Pemerintah

Pemerintah

ANALISIS KEBIJAKAN

1. Pemerintah

2. Public Contractor

3. Government

Think Thank

1. Stakeholder

2. Analisis Kebijakan

3. Independent Think Thank

Sumber : Suharto, 2003

Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh tabel 2.1, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintah) ke governance (tata kelola), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari ’penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ’bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.

Dalam konteks pembangunan sosial, kebijakan sosial merupakan suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial ini mengandung dua pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial.

Gambar 2.1. Tujuan Kebijakan Sosial

Tujuan pemecahan masalah itu mengandung arti mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada sesuatu keadaan yang tidak diharapkan (misalnya kemiskinan) atau kejadian yang bersifat destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan masyarakat (misalnya kenakalan remaja). Tujuan pemenuhan kebutuhan mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan (mencegah terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau timbul lagi masalah, atau mencegah meluasnya masalah) atau pengembangan (meningkatkan kualitas suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya). Secara lebih rinci, tujuan kebijakan sosial (Suharto, 2005:60), adalah:

1. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

2. Memenuhi kebutuhan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat yang tidak dapat mereka penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui tindakan kolektif.

3. Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan mengurangi kedisfungsian sosial individu atau kelompok yang disebabkan oleh faktor internalnya-personal ataupun eksternal-struktural.

4. Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat sesuai dengan hak, harkat dan martabat manusia.

5. Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan sumber kemasyarakatan demi tercapainya kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.

Mengacu pada Dunn (1991), analisis kebijakan sosial adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam analisis masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab dan akibat suatu kebijakan. Analisis kebijakan sosial, merujuk Quade (1995), adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif terhadap perbaikannya. Kegiatan analisis kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu atau masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang akan ataupun telah dilaksanakan. Namun demikian, beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang melibatkan tidak lebih dari sekedar kegiatan berfikir secara cermat dan hati-hati mengenai dampak kebijakan terhadap kehidupan masyarakat.

Analisis kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang terencana dan sistematis dalam membuat analisis akurat mengenai konsekuensi kebijakan sosial, baik sebelum maupun sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan (Suharto, 2004a; lihat Sheafor, Horejsi dan Horejsi, 2000). Menurut Dunn (1998: 117-123) ada tiga model analisis kebijakan, yaitu model porspektif, retrospektif dan model integratif.

1. Model prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi kebijakan ’sebelum’ suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik peramalan (forecasting)

2. Model retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat kebijakan ’setelah’ suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan

3. Model integratif adalah model perpaduan antara kedua model itu. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik ’sebelum’ maupun ’sesudah’ suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melihat teknik peramalan dan evaluasi secara terintegrasi.

Penelaahan terhadap kebijakan sosial, yang menggunakan model prospektif, retrospektif, dan integratif, didasari oleh prinsip atau patokan umum yang membentuk kerangka analisis. Kerangka analisis tersebut secara umum berpijak pada dua pedoman, yaitu ’fokus’ dan ’parameter’ analisis. Analisis kebijakan dapat difokuskan kedalam berbagai asas. Namun, tiga fokus utama yang umumnya dipilih dalam analisis kebijakan sosial meliputi:

1. Definisi masalah sosial. Perumusan atau pernyataan masalah sosial yang akan direspon atau ingin ditanggulangi oleh kebijakan.

2. Implementasi kebijakan sosial. Pernyataan mengenai cara atau metode dengan mana kebijakan sosial tersebut diimplementasikan atau diterapkan. Implementasi kebijakan juga mencakup operasi alternatif kebijakan yang dipilih melalui beberapa program atau kegiatan.

3. Akibat-akibat kebijakan sosial. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi kebijakan atau akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan sosial. Konsekuensi atau dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan bisa bersifat positif (manfaat) maupun negatif biaya. Akibat kebijakan bisa diprediksi sebelum kebijakan diimplementasikan (model prospektif), sesudah diimplementasikan (model retrospektif), ataupun sebelum dan sesudah diimplementasikan (model integratif).

Dalam analisis ketiga fokus tersebut, diperlukan pendekatan atau parameter analisis yang dapat dijadikan basis bagi pengambilan keputusan atau pilihan kebijakan.

1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis yang dilakukan. Penelitian dan rasionaliasasi merupakan dua aspek yang berbeda, namun saling terkait. Penelitian menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh melalui observasi dan eksperimen yang dapat membantu membuat pilihan-pilihan kebijakan. Rasionalisasi menunjuk pada logika dan konsistensi internal. Misalnya, apakah berbagai bagian kebijakan berkaitan secara rasional? Apakah kebijakan sudah bersifat konsisten secara logis dan internal?

2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai baik dan buruk. Nilai-nilai merupakan keyakinan dan opini masyarakat mengenai baik dan buruk. Nilai juga merupakan sesuatu yang diharapkan atau kriteria untuk membuat keputusan mengenai sesuatu yang diharapkan.

3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan dan stabilitas. Politik berkenaan dengan suatu cara bagaimana kebijakan-kebijakan dirumuskan dikembangkan dan diubah dalam konteks demokrasi. Lebih khusus lagi, politik menunjuk pada individu-individu dan kelompok-kelompok kepentingan yang berpartisipasi atau berusaha mempengaruhi proses perumusan dan pengembangan kebijakan.

Kerangka analisis Quade (1995:172-173) memberikan pedoman dalam menelisik masalah sosial, implementasi kebijakan sosial dan akibat kebijakan dilihat dari segi parameter penelitian, nilai dan politik.

DAFTAR BACAAN

Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lemlit Unpad.

Dunn, William N, 1999. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, diterjemahkan oleh Samudra Wibowo. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

­Suharto, Edi. 2003. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. STKS. Bandung.

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung-Puslit KP2W Lemlit Unpad.

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI TENAGA KERJA

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI TENAGA KERJA

Ratusan tahun yang lalu, Confucius memberi nasihat, “Carilah pekerjaan yang Anda senangi, maka seumur hidup Anda tidak perlu lagi menyebut Anda bekerja”. Namun apa yang kita saksikan? Kita dibesarkan dalam lingkungan yang mengajarkan mitos: kerja adalah beban, kerja adalah tugas berat yang harus dipikul. Apalagi keadaan sekarang kerja adalah seuatu yang langka bahkan sesuatu yang harus diperebutkan dengan berbagai cara.

Prof. Amartya Kumar Sen, ekonom Asia pertama penerima hadiah Nobel dalam Ilmu Ekonomi pada tahun 1998, menyajikan secara meyakinkan konsepnya mengenai pembangunan, yakni sebagai upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat, dalam pandangannya ini peluasan kebebasan dipandnag sebagai tujuan utama pembangunan. Dalam bukunya yang lebih dulu, Poverty and Famines-An Essay on Entitlement and Deprivation, yang dipublikasikan pada 1981, Profesor Sen mengkritik pandangan tradisional yang menyatakan bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya persediaan pangan (pandangan FAO). Namun profesor Sen tidak melulu memusatkan perhatian kepada persediaan pangan (seluruh pasokan pangan dalam ekonomi) dalam menganalisis penyebab bencana kelaparan; dia menyatakan bahwa perhatian harus dipusatkan pada entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang, yaitu komoditas yang dapat digunakan untuk membangun kepemilikan dan kekuasaan. Orang akan menderita kelaparan bila dia tidak dapat membangun entitlement atas jumlah pangan yang cukup. Bagi mayoritas penduduk negara berkembang, entitlement ini hanya ditentukan oleh sumber yang dimiliki, yaitu tenaga kerja (Thee Kian Wie, 2004:5).

Tenaga kerja menjadi masalah utama bagi negara-negara berkembang, karena hampir disetiap negara berkembang angka pengangguran dimulai setelah masa krisis ekonomi pada tahun 1997, mengakibatkan menghilangnya lapangan pekerjaan yang biasa menjadi sumber pencaharian bagi masyarakat.

Kita ingat beberapa kasus deportasi tenaga kerja Indonesia ilegal belum usai. Ribu-ribut kasus TKI ilegal yang berujung pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia itu memang membuahkan hasil, yakni penundaan kembali pelaksanaan razia dan deportasi menjadi mulai 1 Maret 2005. Juga ada upaya terkoordinasi oleh kedua pihak untuk memperlancar proses recycle tenaga kerja, sehingga para TKI yang sebelumnya berstatus ilegal ini bisa masuk kembali bekerja di Malaysia dalam status sebagai pekerja legal. Langkah recycle TKI ilegal hanya menyelamatkan mereka yang memang sudah terlempar atau tidak tertampung di pasar kerja di dalam negeri dan memilih mengadu nasib di negeri tetangga itu. Di samping mereka, masih ada lebih dari sepuluh juta penganggur di negara ini. Itu baru penganggur terbuka, belum termasuk mereka yang setengah menganggur. Kunci penyelesaian dari semua masalah itu adalah penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.

Menjadi pekerjaan yang berat mengingat lapangan pekerjaan menjadi kunci penting agar meningkatnya tingkat IPM (Index Pembangunan Manusia), menurut data Bank Dunia tahun 2003, IPM bangsa Indonesia berada pada peringkat ke 110 daro 173 negara yang diukur, sedangkan dalam lingkup negara-negara ASEAN Indonesia berada di posisi ke tujuh dari tujuh negara yang diteliti. Kondisi seperti ini merupakan akumulasi dari rendahnya pendidikan terutama tingkat dasar, pemeliharan kesehatan masyarakat yang belum terlaksana dengan baik, yang semua diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, kemudian lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor penting, terutama dalam meningkatkan pendapatan mereka agar dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Kondisi inilah yang selalu dihadapi oleh negara-negara berkembang salah satunya Indonesia, biasa dikatan lingkaran setan (vicious cyrcle) yang oleh pakar disebut dengan istilah kemiskinan struktural. Minimnya lapangan kerja menyebabkanrendahnya produktivitas yang menyebabkan rendahnya pendapatan dan menyebabkan rendahnya tingkat abungan yang menyebabkan rendahnya invetasi yang akhirnya kembali menyebabkan minimhnya lapangan pekerjaan.

Namun tidak menutup kemungkinan ini juga disebabkan oleh kemiskinan kultural seperti budaya malas, tidak kreatif atau berusaha untuk mencari peluang-peluang yang ada. Hingga peluang kerja yang semakin kecil ditambah tidak siapnya para pencari kerja menyebabkan beban untuk mendapatkan kerja menjadi berat dan sangat sulit. Dengan bergesernya paradigma dari Government menjadi Governance maka masalah ini menjadi tidak hanya tanggung jawab pemerintah pusat maupun daerah tetapi bersama-sama dalam stakeholder yang terlibat dalam kepentingan ketenaga kerjaan untuk membuka peluang kerja sebanyak-banyaknya.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mempertanyakan kembali kebijakan ekonomi dan pembangunan, yang ditempuh pemerintah selama ini. Benarkah kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar menciptakan lapangan kerja? Membicarakan arah kebijakan pembangunan ekonomi, berarti juga mempersoalkan pilihan-pilihan sektor dan juga industri-industri yang menjadi prioritas dalam pembangunan ke depan.

Kebijakan Tenaga Kerja Indonesia

Kinerja pemerintah dalam memperbaiki kondisi perburuhan dan pasar kerja bisa dibilang masih jauh dari harapan. Buruh kian hari kian marjinal, sementara pasar kerja juga makin tak jelas. Gejala paling mengkhawatirkan adalah tambahan penganggur yang melebihi kesempatan kerja. Penutupan pabrik sepatu besar di Tangerang (Dong Joe) dan Bekasi (Tong Yang) yang memiliki 18.000 tenaga kerja, menambah panjang deretan penganggur. Kondisi ini jelas kontradiktif dengan janji pemerintah untuk menurunkan angka pengangguran.

Dalam konteks memahmai cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia untuk mewujudkan makmur dalam kebersamaan, dan bersama dalam kemakmuran, dalam suatu perekonomian pasar, maka perumusan tiga tujuan kebijakan makro ekonomi (pertumbuhan, stabilitas dan kesempatan kerja), kemudian diterjemahkan menjadi trilogi pembangunan (pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan).

Bahkan dalam pembukaan UUD 1945 menekankan bahwa negara Indonesia adalah negara kesejahteraan dimana tugas negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan masyarakat melalui layanan publik, dengan memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan tentu salah satunya adalah memberikan seluas-luasnya kesempatan kerja bagi rakyat.

Namun demikian ternyata belum mampu menghindarkan proses marginalisasi yang telah terjadi terhadap sekelompok warga bangsa akibat politik pembangunan yang bias pertumbuhan, dan stabilitas yang mengekang. Persoalan yang dihadapi oleh kerangka teori ekonomi ternyata bukan pada kerangka penjelasan dan kemampuan melakukan prediksi, tetapi juga terletak pada pengukuran tentang output. Jika prima kausa utama kemiskinan adalah pengangguran, dan ketidak adilan berpangkal dari banyaknya orang miskin, maka dalam trilogi juga sama pentingnya untuk menempatkan usaha menghilangkan kemiskinan sebagai bagian dari tujuan makro sebagai penajaman dari pemerataan. Standard textbook menyebutkan kesempatan kerja, sedangkan dalam politik pembangunan lima-tahunan diterjemahkan menjadi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka sebagai penjabaran indikator pencapaiannya adalah pengurangan angka penduduk miskin (Soetrisno, 2003:22).

Kebijakan pembangunan ketenagakerjaan dan transmigrasi dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran harus diarahkan pada perluasan lapangan kerja baik lokal, regional maupun luar negeri. Inilah salah satu janji pasangan presiden dan wakilnya dalam kampanye pemilu 2004 lalu. Pemerintah menargetkan angka pengangguran terbuka bisa ditekan dari sekitar 10 juta orang pada tahun 2004 menjadi 9,5 persen dari angkatan kerja tahun 2005 (9,9 juta orang); 8,9 persen (9,4 juta orang) tahun 2006; 7,9 persen (8,5 juta orang) tahun 2007; 6,6 persen (7,3 juta orang) tahun 2008; dan 5,1 persen (5,7 juta orang) tahun 2009. Artinya, dalam lima tahun, angka pengangguran ditargetkan turun hingga sekitar separuhnya (Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005).

Total angkatan kerja sendiri diproyeksikan meningkat 1,9 persen per tahun, yang berarti setiap tahun 2,0-2,5 juta angkatan kerja baru masuk ke pasar kerja. Sementara, kesempatan kerja diproyeksikan pemerintah meningkat 2,9 persen per tahun selama kurun 2005-2009.

Lapangan kerja di sektor pertanian ditargetkan meningkat 2 persen per tahun. Sementara, lapangan kerja di sektor manufaktur ditargetkan tumbuh 3,9 persen per tahun dan sektor lainnya 3,7 persen. Bisa dicapai atau tidaknya target-target itu akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah di masing-masing sektor tersebut.

Untuk sektor pertanian saja, menurut Data Departemen Pertanian, sekitar 46,3 persen dari total angkatan kerja tahun 2003 diserap oleh sektor ini. Itu berarti, sekitar 46,3 juta tenaga kerja. Jika mengacu pada target pertumbuhan penyerapan lapangan kerja pemerintah, berarti setiap tahun sektor ini diharapkan menyerap tambahan 0,92 juta pekerja. Target ini konsisten dengan target pertumbuhan sektor pertanian yang ditetapkan pemerintah sebesar 3,2-3,8 persen per tahun selama kurun 2005-2009.

Yang menjadi persoalan, sampai sekarang belum terlihat adanya tanda-tanda bahwa pemerintah memang serius menangani sektor pertanian yang dewasa ini menjadi tumpuan hidup 25,6 juta keluarga petani atau sekitar 125 juta penduduk Indonesia dan setiap tahun diharapkan mampu menyerap hampir satu juta angkatan kerja baru itu.

Badan Pusat Statistik menyebutkan, sementara pada 2001 pengangguran terbuka masih 8,1 persen, tahun berikutnya terus membumbung hingga pada 2005 mecapai 10,26 persen. Memang tingginya pengangguran merupakan ‘warisan’ pemerintah sebelumnya. Dalam lima tahun terakhir, angkatan kerja bertambah sekitar 2 juta orang per tahun suatu yang sejalan dengan pertambahan penduduk usia kerja. Pada 2001, angkatan kerja msaih sekitar 98,8 juta orang. Pada 2005 jumlah itu meningkat menjadi 105,8 juta orang. Disisi lain, pertumbuhan kesempatan kerja (penduduk bekerja) lebih lambat dari pertumbuhan angkatan kerja. Akibatnya, pengangguran terbuka terus naik. Setahun pertama pemerintahan sekarang, pengangguran terbuka mencapai 10,26 persen. Pada 2006 ini diperkirakan terus melonjak mendekati 11 persen.

Berdasarkan data BPS pada tahun 2006 dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 225.465.000 jiwa, jumlah angkatan kerja sekitar 106.390.000 jiwa, sedangkan daya serap lapangan kerja sekitar 95.460.000 jiwa. Melihat data tersebut maka nampak angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2006 cukup tinggi hampir mendekati angka 11.000.000 jiwa.

Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), antara Februari 2005 dan 2006, penduduk usia kerja tumbuh dari 155,6 juta orang menjadi 159,3 juta orang atau terjadi peningkatan sebesar 2,38 persen. Sementara angka angkatan kerja naik dari 105,8 juta orang menjadi 106,3 juta orang (0,45 persen), atau naik 13 persen dari tambahan penduduk usia kerja. Maka berkurangnya penduduk usia kerja yang masuk ke dalam pasar kerja menunjukkan kegagalan pemerintah dalam merangsang pasar kerja.

Hal yang terkait dengan fenomena jobless grouth dalam ketenagakerjaan di Indonesia. Selama lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi meningkat, bahkan melampaui lima persen pada tahun 2004 dan 2005. Tapi hal ini tidak diikuti dengan penyerapan kesempatan kerja yang sepadan. Nilai elastisitas kesempatan kerja di Indonesia sangat rendah, bahkan bernilai negatif untuk sektor industri dan sektor lainnya pada tahun 2003. Kemampuan sektor industri menyerap kesempatan kerja semakin turun, sementara sektor pertanian dan sektor jasa dibebani tugas penyerapan kesempatan kerja.

Secara sederhana, kegagalan pemerintah dalam merangsang pasar kerja dapat dilihat dalam dua kasus berikut: Pertama, data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 23 persen anggaran pembangunan pemerintah yang tergunakan. Akibatnya, dana pembangunan yang berjumlah lebih dari Rp 50 triliun cuma parkir di Bank Indonesia. Sementara di bank pembangunan daerah (pengelola dana pemerintah daerah), lebih dari Rp 40 triliun nongkrong dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana menganggur ini semestinya bisa digunakan untuk membantu percepatan pertumbuhan sektor riil agar mampu menyerap tenaga kerja yang ada.

Kedua, pola pembangunan yang bias kota. Data Sakernas Februari 2005 dan 2006 menunjukkan tambahan penduduk usia kerja di desa sebesar 70 persen, sementara di kota hanya 30 persen. Kebijakan industrialisasi dan pembangunan yang bias kota berakibat pada laju angka urbanisasi dan fenomena proletariasi yang hebat. Jangan heran jika jawaban para pencari kerja dari desa adalah “mengadu untung di kota”, sebuah jawaban klasik, karena tidak adanya kesempatan kerja di desa.

Di sisi lain, kondisi ketenagakerjaan juga tak mengalami perbaikan seiring dengan janji demokratisasi ekonomi. Kasus rencana revisi pemerintah terhadap Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, carut-marutnya pengelolaan dana buruh di Jamsostek, gaji hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial (PHI) yang hingga kini belum dibayar, hingga aksi-aksi demonstrasi buruh yang kian marak di berbagai wilayah merupakan fakta bahwa partisipasi buruh dalam manajemen (dua proses demokratisasi politik hubungan industrial) hingga kini masih jalan di tempat.

Bisa dikatakan, di era globalisasi-neoliberal saat ini, terdapat empat pemain penting penggerak ekonomi (global). Dua kelompok pertama adalah pemerintah dan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs), sementara dua kelompok terakhir adalah modal keuangan dan tenaga kerja. Dari keempat pemain itu, yang paling banyak mengambil manfaat adalah modal keuangan global, yang umumnya dikelola korporasi-korporasi global. Saat ini, pertumbuhan modal 500 perusahaan multinasional di dunia mencapai tujuh kali lipat dari 721 miliar dolar AS pada tahun 1971 menjadi 5,2 triliun dolar AS pada tahun 1991. Pada tahun 2005, modal keuangan global diprediksi telah berkembang menjadi 50,2 triliun dolar AS.

Kemudian persoalan ketenagakerjaan tidak semata terletak pada tingkat pengangguran terbuka, namun juga banyaknya angka setengah penagangguran. Setengah pengangguran didefinisikan sebagai orang yang bekerja tidak penuh (kurang dari 35 jam) dan masih bersedia menerima pekerjaan tambahan. Juga orang yang bekerja penuh tetapi memperoleh pendapatan yang sangat rendah, dan orang yang bekerja namun jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan jenis pendidikannya (BPS, 2001). Saat ini terdapat lebih dari 30 persen angkatan kerja setengah menganggur.

Fenomena yang menarik untuk dicermati dari angka setengah penganggur ini adalah relatif tinggi jumlah setengah pengangguran sukarela dibandingkan dengan tingkat setengah pengangguran terpaksa. Ini mencerminkan keputusasaan dalam mencari pekerjaan penuh waktu. Keputusasaan berarti aktivitas mencari pekerjaan penuh waktu terhenti sehingga, akibatnya, tingkat pengangguran terselubung semakin besar. Disamping angka pengangguran yang terus meningkat, tantangan lain yang dihadapi pemerintah adalah meningkatnya kesempatan kerja di sektor informal. Adapun sementara sektor formal stagnan atau terus turun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, share kesempatan kerja disektor formal belum beranjak dari kisaran 30 persen terhadap seluruh kesempatan kerja-kondisi yang berbeda dibandingkan dengan masa sebelum krisis. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi informalisasi ketenagakerjaan dari sektor yang memiliki produktivitas tinggi ke sektor produktivitas lebih rendah.

Melihat gambaran di atas, fokus kebijakan penciptaan kesempatan kerja Kabinet Indoensia Bersatu sesungguhnya masih tetap relevan, walaupun dalam dua tahun pertama pemerintahan, kabinet belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan pemerintah adalah: (i) menciptakan lapangan kerja formal atau modern seluas-luasnya, dan (ii) memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan dengan produktivitas tinggi.

Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, dimasa datang diperlukan revitalisasi dan investasi sektor-sektor ekonomi terpilih. Revitalisasi tersebut tidak hanya pada sektor pertanian, tetai juga pada industri padat karya, dan industri berorientasi ekspor. Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, dengan diperluasnya program pendampingan dan peningkatan kapasitas yang lainnya untuk menyambut pengembangan penyediaan kredit perbankan bagi usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu, sektor pendidikan formal dan informal termasuk pelatihan-pelatihan juga perlu mendapat perhatian untuk meningkatkan potensi penyerapan tenaga kerja di sektor formal dan modern.

Selain investasi, hal yang juga penting diperhatikan adalah regulsai ketenagakerjaan yang mendukung ketersediaan infrastruktur, dan skema pemberian kredit yang memadai. Khusus untuk regulasi dibidang ketenagakerjaan, dibutuhkan regulasi ketenagakerjaan yang seimbang sehingga kebijakan tersebut memfasilitasi penciptaan kesempatan kerja, khususnya disektor formal.

Maka perlu adanya perubahan struktur sosial dan ekonomi secara komprehensif dan menjadi sesuatu yang penting apabila kepntingan rakyat diutamakan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan.

Kesempatan Bekerja di Masa mendatang

Dilihat dari struktur, angkatan kerja di Indonesia masih didominasi oleh penduduk usia kerja yang berpendidikan rendah dan juga berketerampilan rendah. Namun, dilihat dari profil mereka yang menganggur, ada kecenderungan dalam beberapa tahun terakhir jumlah penganggur dengan jenjang pendidikan lebih tinggi semakin meningkat.

Dalam beberapa kasus, kondisi ini sering dikaitkan dengan kurikulum pendidikan di Indonesia yang memang tidak dirancang atau diarahkan secara khusus untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil siap pakai sesuai kebutuhan industri atau sektor-sektor yang ada. Sekolah-sekolah kejuruan yang ada, sebagian besar juga sulit berkembang karena tidak adanya dukungan fasilitas dan anggaran yang memadai Akibat dominasi tenaga kerja berketerampilan rendah ini, industri manufaktur yang berkembang cenderung juga hanya industri padat karya yang mengandalkan pada tenaga kerja murah, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan industri kayu.

Kondisi inilah yang dihadapi oleh para pencari kerja di Indonesia, mereka harus bersaing dengan kondisi kebijakan yang masih belum jelas keberpihakannya. Lapangan pekerjaan yang semakin kecil karena investasi yang makin turun. Maka diperlukan persiapan-persiapan bagi pencari kerja.

Bekerja bagi manusia adalah suatu kebutuhan, baik untuk aktualisasi diri maupun untuk mengarungi kehidupan di dunia. Bekerja pada dasarnya adalah hal yang sangatlah mudah dilakukan bagi setiap orang, melakukan suatu aktivitas tertentu sudah termasuk di dalam kamus bekerja. Saat ini, memang makin sulit mendapatkan pekerjaan, mengapa? Ada banyak sebab. Pertama, jumlah peluang kerja yang ada tak berimbang dengan jumlah pencari kerja. Kedua, kualitas lulusan sekarang ini baru siap tahu dan belum siap pakai atau lebih tepat siap kerja. Ketiga, paradigma telah bergeser. Rekruitmen tidak lagi atas dasar IQ tetapi juga EQ, bahkan sekarang faktor SQ. Faktor kepribadian, kematangan emosi dan spriritual ikut menjadi pertimbangan. Perlu diketahui, bahwa gelar tidak lagi menjamin untuk mendapatkan pekerjaan. Ya, gelar bukanlah tiket menuju dunia kerja.

Bahkan posisi tawar (bargaining position) lulusan sekolah menengah saat ini kecil sekali, bahkan nyaris tak ada. Banyak lulusan SMA yang bersedia bekerja apa saja dengan gaji seadanya. Walaupun mau bekerja apa pun, tetap saja mereka menemukan persaingan dunia kerja yang amat tinggi, tapi mereka pantang menyerah. Hal ini tidak berbeda dengan para lulusan sarjana. Mereka kurang memiliki nilai plus untuk menaikkan posisinya dalam mencari pekerjaan. Saya mengambil dari salah satu blog internet bahwa kita harus memiliki ”nilai plus” sebagai syarat untuk memenangkan peluang kerja. Nilai plus dapat berupa:

Pertama, penampilan yang meyakinkan, penuh percaya diri, mampu mengundang simpati. Dengan kata lain mampu menunjukkan kepribadian yang kuat. Kedua, memiliki kecakapan khusus seperti penguasaan bahasa asing dan juga komputer atau kecakapan lain yang menunjang atau memenuhi kebutuhan/tuntutan pasar kerja. Ketiga, pengalaman dalam organisasi atau dunia kerja. Keempat, pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kemudian para pencari kerja harus siap di segala sektor. Harus bersedia dan mampu ditempatkan di bagian apa saja. Siap ke luar daerah atau luar pulau bahkan luar negeri karena biasanya pencari kerja berjubel di kota-kota besar yang sudah padat dan sarat dengan penganggur. Sebagai strategi atau kiat menerobos dunia kerja, kita harus jeli mengantisipasi lowongan. Mengukur kemampuan, tidak menuntut gaji terlalu tinggi, bersedia di tempatkan di mana saja. Persyaratan lamaran kerja terpenuhi.

Mengenai lamaran kerja yang tak berbalas atau tanpa berita, memang bukanlah hal yang mengherankan. Sekarang ini banyak perusahaan yang melaksanakan penghematan di segala bidang termasuk tidak mau repot membuang perangko untuk membalas surat-surat lamaran yang ratusan jumlahnya. Tetapi surat lamaran yang menarik pasti mendapat perhatian dan tak akan dibuang. Karena itu, surat lamaran perlu dibuat sedemikian rupa sehingga punya daya tarik pada pandangan pertama. Kesan pertama sangat menentukan. Baik surat maupun penampilan dan sikap pada waktu wawancara.

Saat penantian atau sebelum berhasil mendapatkan pekerjaan, kita perlu mengisi waktu dengan berbagai upaya. Jangan sekali-kali menganggur. Tingkatkan kemampuan dengan mengembangkan wawasan, misalnya mengikuti berbagai pelatihan atau seminar. Bagi yang mampu dan memungkinkan bisa pula studi lanjut ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi yang lain bisa mencoba berwiraswasta karena kita harus siap untuk alih profesi bila perlu.

Selama memiliki kemampuan lebih untuk bersaing dalam dunia kerja, maka kebijakan pemerintah mengenai tenaga kerja bentuk apapun tidak akan mempengaruhi kerja kita, dengan kemampuan kita siap mengahdapi perubahan yang terjadi. Janganlah terlalu pusing memikirkan lapangan pekerjaan tetapi yang harus dipikirkan mulai dari sekarang sudah siapakah saya?

Daftar Bacaan :

Mohammad, Mahathir. A New Deal for Asia (Peran Baru Asia di Dunia). Jakarta: Handal Niaga Pustaka.

Soetrisno, Noer. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Soisal. Jakarta: STEKPI.

Wie, Thee Kian. 2004. Pembangunan, Kebebasan, dan ”Mukjizat” Orde Baru. Jakarta: Penerbit Kompas.

Kompas, edisi Sabtu, 19 Februari 2005

MEKANISME FOCUSED GROUP DISCUSSION

MEKANISME FOCUSED GROUP DISCUSSION

Kegiatan FGD merupakan bagian dari suatu metode PRA (Participacy Rapid Appraisal), adalah cara diskusi secara interaktif dalam melihat permasalahan yang dihadapi melalui curah pendapat para peserta diskusi untuk menemukan penyelesaian masalah, yang memiliki tujuan menghasilkan rancangan program dari, oleh dan untuk masyarakat. Hingga mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menganalisa keadaan mereka sendiri dan melakukan perencanaan melalui kegiatan aksi.

Maka tujuan kegiatan FGD yang utama ialah untuk menghasilkan rancangan program yang gayut dengan hasrat dan keadaan masyarakat. Terlebih itu, tujuan pendidikannya adalah untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menganalisa keadaan mereka sendiri dan melakukan perencanaan melalui kegiatan aksi.

Beberapa hal prinsip yang ditekankan dalam FGD ialah :

  1. FGD adalah salah satu teknik dalam penggalian data. Harus diingatkan bahwa FGD merupakan salah satu teknik dari metode PRA, yah walaupun FGD juga bisa ingin mengetahui pendapat/pandangan konsumen mengenai suatu produk, tetapi FGD juga menjadi bagian dari metode penelitian sosial. Jadi dalam melakukan FGD harus jelas tujuan anda, bukan hanya sekedar mengmpulkan orang dan membicarakan topik yang tidak beraturan/tidka jelas. FGD ini ada apabila dalam kegiatan/penelitian anda memang membutuhkannya.
  2. FGD adalah kelompok diskusi dan berbeda dengan wawancara biasa atau wawancara mendalam. Ingat FGD melibatkan banyak orang (antara 6-12 orang), jadi didalamnya terdapat interaksi yang membahas suatu permasalahan yang menjadi tema diskusi. Inilah yang menjadi perbedaan mencolok dengan metode penggalian data pada penelitian kualitatif lainnya seperti wawancara mendalam. Dalam pelaksanaannya fasilitator harus bisa mencairkan suasana, bahkan interaksi harus bisa dibentuk antar peserta FGD. Ingat ini diskusi bukan mewawancarai sekelompok orang, tentu sangat berbeda tujuan akhirnya. Maka fasilitator harus lebih sedikit berbicara tetapi menyimak dengan baik jalannya diskusi antar peserta, apabila ada hal yang melenceng dari tema baru fasilitator meluruskan kembali.
  3. FGD adalah sekelompok orang (group) bukan individu-individu. Karena FGD adalah diskusi maka FGD adalah group bukan individu. Seperti prinsip sebelumnya, bahwa peserta FGD harus ada interaksi, sebisa mungkin fasilitator bisa senetral mungkin, bahkan bisa mengajak peserta yang terlihat menjadi minoritas hingga ”tidak bersuara” menjadi ”bersuara” dengan memperhatikan keutuhan kelompok.
  4. FGD adalah harus terfokus. Prinsip ini melengkapi prinsip pertama. FGD merupakan diskusi yang memiliki tujuan. Dalam penelitian anda sudah jelas kebutuhan apa yang dapat dipenuhi melalui FGD. Maka fasilitator sudah memiliki panduan dalam memfasilitasi diskusi. Jangan hanya melihat proses yang terjadi dalam diskusi tetapi lihatlah apakah diskusi ini sudah mencapai apa yang menjadi tema diskusi. Walaupun interaksi baik tetapi tujuan diskusi belum tercapai, maka ini tidak baik, karena hanya membuang energi saja. Walaupun fasilitator harus bisa melakukan ”ice breaking” tetapi ini dalam mencegah diskusi yang terlalu serius ataupun sudah terlalu melenceng dari tema awal. Oleh karena itu ”ice breaking” tidak hanya untuk untuk mencairkan suasana tetapi juga mengingatkan tema yang didiskusikan.

Dalam FGD, pesertanya lebih diutamakan memiliki latar belakanag atau pengetahuan yang sama (misalanya anggotanya para ibu-ibu atau sbapak-bapak, atau orang-orang yang memiliki hobi sama seperti memancing). Khusus dalam kajian ini, maka peserta FGD harus memiliki pengetahuan yang sama mengenai pengembangan wilayah Ciamis. Sebisa mungkin peserta memiliki kecenderungan homogen karena semakin beragamnya peserta menyebabkan ketidak kondusifan jalannya diskusi, misalnya salah satu anggota berusia masih di bawah 20 tahun sedangkan yang lainnya berusia lebih dari 40 tahun maka ini menjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan ia tidak akan banyak mengeluarkan pendapat/idenya.

Tujuan dari FGD secara umum, adalah:

  1. Untuk menggali rangkaian opini/pendapat/pandangan mengenai topik yang sedang dibahas
  2. Untuk melihat kecenderungan-kecenderungan opini di masyarakat mengenai topik yang dibahas
  3. Menggali maksud atau data-data yang tidak bisa dijelaskan secara kuantitatif.
    Maka sering dikatakanFGD adalah penelitian kualitatif dan penelitian kualitatif adalah FGD.

Ada beberapa prosedur umum dalam FGD yang juga bisa diterapkan dalam FGD untuk kajian/penelitian. Beberapa prosedur tersebut adalah:

1. Mengidentifikasi yang dapat menjadi peserta diskusi, dan undang pada pertemuan di tempat dan waktu yang telah ditetapkan. Jumlah yang paling ideal adalah antara 6-8 orang, namun batasan maksimal bisa mencapai 12 orang. Kemudian dalam jumlah peserta harus fleksibel, jangan menolak peserta sudah datang, atau bahkan memaksa seseorang untuk menghadiri diskusi tersebut.

2. Harus siap secara mental (untuk fasilitator) karena harus siap untuk mengobservasi, mendengarkan, dan menjaga agar diskusi tetap pada jalurnya. Waktu yang dibutuhkan untuk diskusi sekitar 1-2 jam, maka manfaatkan waktu tersebut seoptimal mungkin. Apabila waktu lebih dari itu, maka biarkan jangan memotong dan memberhentikan diskusi secara mendadak hanya karena waktu, ingat diskusi diberhentikan ketika semua kebutuhan sudah tercapai.

3. Pastikan fasilitator dan tim pendukung sudah menyiapkan tempat yang telah ditentukan, hingga sudah siap dan menyambut kedatangan peserta. Jangan sampai peserta yang tiba lebih dahulu.

4. Menjaga sikap dan penampilan tetap netral, dan jangan terlebih dahulu memulai berbicara mengenai topik sebelum semua keadaan siap. Jika sudah siap maka tim akan mempersilahkan untuk memulai diskusi.

5. Mulailah dengan memperkenalkan diri sendiri (fasilitator) beserta anggota tim (walaupun mungkin sebelumnya sudah ada peserta yang bertemu dengan anggota tim secara individu), dan berilah kesempatan kepada peserta untuk memperkenalkan diri mereka sendiri.

6. Tim harus siap mengikuti jalannya diskusi (membantu tugas fasilitator) yaitu mencatat semua hal yang terjadi saat diskusi berangsung. Oleh karena itu akan lebih bagus ada pendokumentasian, misalanya radio rekam (tape recorder), kamera foto dan akan lebih bagus menggunakan kamera film, hingga semua kejadian terekam audio visual (ini memudahkan bagi tim untuk mengkategorikan dan menganalisis hasil jawaban diskusi)

7. Jelaskan secara baik maksud dan tujuan diskusi ini, yaitu untuk mengetahui pendapat/pandangan mengenai keadaan atau situasi yang terlihat dalam gambar. Katakan kepada peserta FGD, bahwa dalam diskusi bukan untuk mencari yang benar atau salah, semua pendapat benar, karena tujuan diskusi untuk mengetahui pandangan peserta FGD mengenai topik masalah tertentu. Jadi pastikan dengan baik bahwa semua peserta mengerti bahwa jawaban mereka tidak ada yang salah maupun benar.

8. Tutuplah diskusi ini apabila semua data yang dibutuhkan dianggap terpenuhi. Jangan sampai diskusi terpecah menjadi kelompok-kelompok disukusi yang lebih kecil. Dan harus tulus mengucapkan terima kasih kepada peserta untuk kontribusinya.


Dalam pelaksanaan FGD, maka harus diperhatikan beberapa hal, yaitu:

1. Tentukan satu orang fasilitator dan tim yang akan membantu fasilitator dalam pelaksanaan FGD. Tim dapat diambil dari surveyor yang telah mengidentifikasikan orang-orang yang akan menjadi pserta FGD. Untuk fasilitator diambil yang memiliki pengalaman melakukan FGD, dan beberapa syarat umum, yaitu

a. good communication
b. memahami betul permasalahan yang menjadi tema FGD
c. memiliki kemampuan analisis yang baik
d. peka dan teliti
e. simpati

2. Pedoman pertanyaan (wawancara) untuk memberikan arahan kepada fasilitator, agar tidak keluar dari topik yang dibahas. Pedoman ini dapat diambil dari pedoaman wawancara untuk informan (indepth interview) kalau tidak ada, harus disusun kembali pedomannya.

3. Identifikasi para peserta FGD, pastikan peserta FGD orang-orang pilihan, homogen (misalnya memiliki pengetahuan mengenai kajian yang dilakukan).

4. Tentukan Lokasi dan waktu. Tentukan tempat yang netral, jauh dari keramaian, tidak bising, dan mudah dijangkau/akses mudah. Tempat ini harus representatif untuk dijadikan temnpat diskusi. Jangan sampai peserta FGD tidak mau berbicara sat diskusi dikarenakan tempat diskusi hádala tempat yang dimiliki oleh tokoh masyarakat yang memang ditakuti di daerahnya.

5. Tim mempersiapkan alat-alat seperti:

a. Papan tulis/white board dan kelengkapannya

b. Kertas plano

c. Selotip kertas

d. Spidol

e. Tape recorder minimal 2 buah

f. Kamera foto

g. Kamera film (kalau memungkinkan)

h. Konsumsi

i. Kursi dalam bentuk ¾ lingkaran, kalau tidak ada bisa lesehan

j. Diberikan name tag untuk nama peserta (pastikan bisa dibaca oleh fasilitator) kalau tidak name tag bisa berupa kertas karton yang dilipat untuk ditempatkan di depan peserta (biasanya untuk lesehan). Ini berfungsi untuk memudahkan dalam mengidentifikasi nama-nama dan untuk mempermudah memperkenalkan antar peserta

k. Kertas dan alat tulis (spidol) untuk masing-masing pesrrta (berfungsi apbila dibutuhkan untuk menggali lebih dalam potensi dan masalah mereka mengenai kajian pengembangan ciamis

6. Gambar atau slide, satau tulisan, yang memuat topik yang akan dibahas dalam FGD. Disipakan untuk memulai kegiatan FGD.

7. Penentuan peserta FGD dilakukan maksimal sampai H-1. Identifikasi sudah dilakukan saat survey dilaksanakan. Kategori peserta FGD, misalnya:

  1. Aparat Pemerintah
  2. Anggota Presidium
  3. Tokoh Masyarakat (masyaakat biasa/tidak memiliki latar belakang organisasi manapun)
  4. Akademisi
  5. LSM
  6. Masyarakat biasa/rumah tangga
  7. ……..(tambahkan kalau ada yang lain)
Pengkategorian ini akan berkembang seiring kondisi di lapangan. Tapi kita memastikan bahwa dalam kelompok FGD sebisa mungkin jangan terlalu heterogen (dari segi pengetahuan, umur maupun jabatan, dll) karena akan menimbulkan dominasi dan intimidasi dalam kelompok.

8. Apabila terjadi hal-hal dominasi kelompok, maka fasilitator harus bisa memblocking, dan dapat mendorong peserta yang kurang aktif untuk berbicara. Apabila takut untuk mengeluarkan pendapat, maka digunakan kertas dan spidol untuk masing-masing peserta dan menulis (mengungkapkan) pendapatnya/ide mengenai topik yang dibahas. Kertas tersebut dikumpulkan dan ditempelkan di papan yang tersedia dan mulai dikategorisasikan jawabannya. Kemudian mulai fasilitator untuk mempersilahkan dari masing-masing peserta untuk mengungkapkan jawaban/ide yang ditulis tersebut.

9. Apabia terjadi kebekuan, maka fasilitator bisa memberikan semacam icebreaking untuk mencairkan suasana, ini juga bisa mencegah terjadi dominasi di dalam kelompok. Hanya saja fasilitator tidak boleh terlena dengan kondisi santai tersebut, karena dapat mengganggu konsentrasi untuk mencapai tujuan dalam diskusi tersebut. Modeator akan lebih baik kembali mereframing apabila ada beberapa peserta yang sudah mulai ngelantur tidak sesuai topik yang dibahas. Ini dengan menegaskan secara perlahan mengenai topik yang dibahas.

10. FGD dapat dihentikan apabila tujuan untuk mengetahui pandangan dari tiap peserta mengenai topik yang diambil sudah cukup. Ingat dalam menutup ini fasilitator bisa memberikan yang baik kepada tiap speserta, jangan terlalu terburu-buru, dan kalau bisa dengan memberikan sedikit ice breaking agar mudah untuk mengakhiri diskusi.

11. Yang terpenting harus dipersiapkan juga uang pengganti ongkos mereka (atau reward dalam bentuk lainnya) dan diberikan saat mereka akan pulang. Kita harus bias menghargai waktu dan energi yang mereka keluarkan untuk bisa mengikuti FGD. Sudah sepatutnya kita bisa memberikan reward kepada peserta FGD.