Jumat, 20 Juni 2008

KESEJAHTERAAN DAN KEBIJAKAN PLN

KESEJAHTERAAN DAN KEBIJAKAN PLN

Abstrak

Melihat telivisi begitu banyak berita yang memperlihatkan negara ini sselalu terkena bencana baik alam maupun bencana yang diakibatkan oleh ulah manusianya sendiri. Tidak lupa kenaikan BBM yang mencekik mayarakat, bahkan Presiden selalu mengontrol kenaikan harga minyak dunia dan menghubungi menteri perekonomian, kenapa? karena semakin tingi harga minyak dunia maka makin besar pengeluaran oleh pemerintah karena subsidi BBM. Cukup memprihatinkan salah satu negara berpenghasil sminyak terbesar, tetapi terpuruk karena minyak. Sekarang ada kebijakan dari PLN yang secara tidak langsung dianggap memberatkan masyarakat, yang dianggap akibat dari kenaikan BBM tersebut. tetapi apakah kebijakan insentif dan disinsentif ini benar-benar memberikan solusi dari keadaan sekarang ini.

Kemiskinan

Beberapa waktu yang lalu (2 Juli 2007) cukup heboh ketika pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi mengumumkan jumlah angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu menjadi 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan Maret 2006 sampai dengan Maret 2007. Pada periode sebelumnya, bulan Maret 2006, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75 persen dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut. Tetapi dilain pihak Bank Dunia pun mengeluarkan data yang mengatakan jumlah angka kemiskinan di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup drastis. Jiika melihat standar kemiskinan dari Bank Dunia yaitu senilai US$2 per hari jumlah orang miskin di Tanah Air mungkin bisa mencapai sedikitnya 110 juta jiwa atau 50 persen dari total penduduk Indonesia. Oleh karena itu pemerintah lebih menganjurkan lebih baik merujuk pada “gunakanlah data BPS karena lebih valid”

Dirinci lagi, jumlah penduduk miskin di perdesaan turun lebih tajam dari pada di perkotaan sebanyak 1,20 juta orang miskin yaitu dari 24,81 juta pada tahun 2006 menjadi 23,61 juta pada tahun 2007, sementara di perkotaan turun sebanyak 0,93 juta orang yaitu 14,49 juta pada tahun 2006 menjadi 13,56 juta pada tahun 2007. Selama Maret 2006 sampai dengan Maret 2007, Garis Kemiskinan naik sebesar 9,67 persen, yaitu dari Rp.151.997 per kapita per bulan pada Maret 2006 menjadi Rp.166.697 per kapita per bulan pada Maret 2007.

Seseorang dikategorikan miskin jika memiliki rata-rata penghasilan per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan yang ditentukan oleh BPS. Garis Kemiskinan adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk memenuhi kebutuhan makanan setara 2.100 kilo kalori per orang per hari serta untuk memenuhi kebutuhan non-makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa lainnya.

Perhitungan jumlah penduduk miskin tersebut didasarkan atas data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2007 dan didukung oleh data hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Turunnya jumlah penduduk miskin yang disampaikan oleh BPS tersebut banyak mendapat respon dari berbagai kalangan. Sebagian ada yang bisa menerima hal tersebut dengan alasan bahwa kebijakan tentang upaya penanggulangan kemiskinan yang dikeluarkan oleh pemerintah selama kurun waktu satu tahun ini telah berhasil mengentaskan orang miskin.

Kesejahteraan

Manusia hidup selalu dengan masalah, manusia perlu menghadapi dan menyelesaikan masalah kehidupan baik secara pribadi maupun bersama-sama. Manusia disiratkan kedalam tiga kelompok yaitu :pertama, manusia sebagai anggota masyarakat, manusia tidak bias melepaskan diri sebagai anggota masyarakat. Kedua, manusia dan lingkungan,kualitas hidup manusia dipengaruhi oleh lingkunagn. Ketiga, perkembangan manusia, ialah cara manusia mengembnagkan kualitas hidup baik fisik maupun kejiwaan.

Tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu. Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global.

  • Term which encompasses social work. Social welfare and social work are primarily related at the level of practice ……………
  • The term ‘Social Worker’ is usually applied to employed professionals who are graduates (either at the Bachelor’s, Master’s or PhD level) from Schools of Social Work. Almost all social workers are employed in the field of social welfare” (Zastrow, 1999)

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti.

  • Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai.
  • Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.
  • Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera.
  • Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk ke uang yang dibayarkan oleh pemerintah kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak dapat bekerja, atau yang keadaannya pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh di bawah garis kemiskinan, dan juga memiliki kondisi khusus, seperti bukti sedang mencari pekerjaan atau kondisi lain, seperti ketidakmampuan atau kewajiban menjaga anak, yang mencegahnya untuk dapat bekerja. Di beberapa kasus penerima dana bahkan diharuskan bekerja, dan dikenal sebagai workfare.

Menilik Indonesia dilihat dari keadaan (UU No 6 1974 pasal 2 ayat 1 tentang ketentuan2 pokok kesejahteraan sosial) Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan2 jasmaniah, rokhaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila

Kemudian ada pengertian kesejahteraan sebagai ilmu yang mempelajari strategi dan teknik untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan friedlander (1980) mengungkapkan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan: social welfare is the organized system of social services and institutions, designed to aid individuals and group to attain satisfying standards of life and health atau “kesejahteraan sosial adalah suatu sistem pelayanan sosial dan institusi-institusi pelayanan sosial yang terorganisasi, yang dirancang untuk membantu individu dan kelompok agar tercapainya standar kepuasan dalam kehidupan dan kesehatan”

Kemudian kesejahteraan sosial menurut Pre conference working commitee for the 15th international confrence of social welfare, adalah: all the organized social arrangements which have as their and primary objective the well being of people in social context. It include the broad range of policies and services which are concerned with various aspects of people live-their income, security, health, housing, education, recreation, cultural tradition, etc. (seluruh rencana sosial yang tersusun yang memiliki tujuan utama dalam kemanusian secara konteks sosial. Ini termasuk kebijakan dan pelayanan yang memfokuskan pada sberbagai macam aspek kehidupan manusia, pendapatan, jaminan, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, adat tradisi, dsb)

Maka jika melihat beberapa pengertian tersebut, lingkup kesejahteraan sosial sangat luas sekali, yaitu terpenuhinya seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik maupun psikisnya. Kemudian standar bisa dikatakan orang sejahtera sangat sberbeda-beda bahkan tidak ada yang baku, contoh: orang kaya yang memiliki harta berlimpah mungkin tidak bisa tidur nyenyak karena selalu memikirkan hartanya yang takut diambil oleh orang, hingga ia hidup dalam rumah yang dijeruji besi seperti penjara. Kemudian ada seorang tukang becak yang berpenghasilan hanya 20.000 perhari, tetapi ia bisa tidur pulas tanpa beban di becaknya tanpa memikirkan beban yang menimpanya. Nah, jika melihat kedua kasus tersebut keduanya belum dikatakan sejahtera, walaupun kaya raya, seluruh kebutuhan fisik dapat dipenuhi tetapi jiwanya tidak terpenuhi, kemudian yang satu kebutuhan jiwa mungkin terpenuhi dengan tidak ada beban yang sampai mengganggu jiwanya tetapi kebutuhan fisiknya belum tercukupi.

Kebijakan Sosial

Terdapat beberapa pengertian kebijakan sosial dalam konteks pekerjaan sosial. Hal ini dikarenakan posisi kebijakan sosial itu sendiri dengan kebijakan publik. Istilah kebijakan sosial terdiri dari dua kata yaitu “kebijakan” dan “sosial”. Kata “kebijakan” bermakna ‘kebijakan publik’ yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sedangkan kata “sosial” merujuk pada ‘bidang’-nya, yaitu masalah-masalah kesejahteraan sosial. Maka kebijakan sosial dalam penegrtian ini adalah segala sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan khusus menangani permasalahan kesejahteraan sosial.

Jika melihat pengertian tersebut maka kata kebijakan sosial akan sangat sempit sekali, oleh karena itu istilah kebijakan sosial dapat lebih luas dari hanya segala sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Tetapi bisa dilihat dari asal kebijakan sosial itu yang dibentuk tidak oleh pemerintah tetapi oleh organisasi-organisasi sosial yang notabene dalam pengertian kebijakan sosial sebelumnya termasuk pada stakeholder pelaksana kebijakan publik (unsur pelaksana). Maka kebijakan sosial tidak hanya dikeluarkan oleh pemerintah yang khusus menangani permasalahan kesejahteraan sosial, tetapi organisasi sosial pun bisa mengeluarkan kebijakan yang memang untuk memberikan pelayanan sosial bagi klien yang menjadi sasarannya.

Lainnya istilah kebijakan sosial dapat dikatakan sama dengan kebijakan publik hal ini dilihat kata sosial yang juga mencakup seperti istilah “publik”, misalkan kebijakan politik pun akan menjadi kebijakan sosial jika melihat aspek yang akan dipengaruhi (out put) dari kebijakan itu sendiri. Seperti kebijakan yang dikeluarkan oleh PLN, mungkin orang akan melihat ini masuk dalam kategori kebijakan publik, tetapi jika melihat lebih jauh lagi ini bisa dikatakan kebijakan sosial sebab PLN memberikan sumbangsinh yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat.

Kebijakan PLN

Akhir-akhir ini PLN akan mengeluarkan Program Pelanggan Hemat dari PLN yang juga dikenal di masyarakat sebagai program Insentif dan Disinsentif. Artinya Pemerintah melalui PLN akan memberikan Insentif (imbalan berupa pengurangan tagihan listrik) bagi pelanggan yang dapat menghemat pemakaian listrik di bawah 80% rata-rata nasional pada masing-masing golongan tarif. Serta disinsentif (penambahan pembayaran tagihan) bagi pelanggan yang pemakaiannya melebihi 80% rata-rata pemakaian nasional. Kalau dirinci seperti ini aturannya :

1. Insentif, diberikan ke pelanggan yang bisa berhemat lebih dari 20% dari rata-rata
nasional pemakaian listrik per bulan.

2. Dis-insentif, diberikan ke pelanggan yang tidak berhemat, yaitu pemakaian listrik
lebih besar dari 80% dari rata-rata nasional pemakaian listrik per bulan.

Contoh perhitungan untuk golongan rumah tangga sebagai berikut:

v Untuk golongan R1 (s/d 450 VA), dari rata-rata pemakian 75 kwh/bulan harus ditekan jadi 60 kwh/bulan.

v Untuk golongan R1 (900 VA), dari rata-rata pemakian 115 kwh/bulan harus ditekan jadi 92kwh/bulan.

v Untuk golongan R1 (1.300 VA), dari rata-rata pemakian 197 kwh/bulan harus ditekan jadi 158 kwh/bulan.

v Untuk golongan R1 (2.200 VA), dari rata-rata pemakian 354 kwh/bulan harus ditekan jadi 283 kwh/bulan.

v Untuk golongan R2 (2.200-6.600 VA), dari rata-rata pemakian 650 kWh/bulan harus ditekan jadi 127 kwh/bulan.

v Untuk golongan R3 (diatas 6.600 VA), dari rata-rata pemakian 1.767 kWh/bulan harus ditekan jadi 98 kwh/bulan.

Jelasnya:

Misal pemakaian rata-rata nasional 100 kWh, nilai hematnya di 80 kWh, maksudnya kalau konsumsi anda dibawah 80 kWh/bulan maka dapat insentif. Namun jika konsumsi listrik di atas 80 kWh maka Anda dapat dis-insentif.

Perhitungannya seperti ini:

a. Insentif = 0.2 x kWh yg dihemat x T *)

b. Dis-insentif = 1.6 x kelebihan kWh x T *)

*) T= tarif listrik tertinggi di golongan tertentu (lihat di rekening listrik anda)

Pemakaian listrik rata-rata nasional untuk pelanggan rumah tangga per bulan:

a. R-1 450 VA = 74.76 kWh

b. R-1 900 VA = 115.48 kWh

c. R-1 1300 VA = sekitar 195 kWh (belum dapat data pasti)

Program ini diberlakukan pada golongan pelanggan:

1. Rumah tangga

2. Bisnis (kecuali di atas 200 kVA)

3. Pemerintah

Pertanyaannya adalah kenapa pemerintah melalui PLN memberlakukan hal tersebut?. Ada beberapa hal yang menjadi dasar dari pemerintah menggulirkan program hemat Pelanggan PLN ini yaitu harga minyak dunia yang terus naik bahkan sempat menembus angka 110 Dolar Amerika per barel sehingga biaya produksi listrik juga ikut meningkat sementara kemampuan negara untuk memberi subsidi terbatas, maka supaya listrik tetap menyala maka pelanggan diminta untuk hemat dengan memperhatikan batas hemat pemakaian. Hal inipun yang menjadi kendala bagi perlistrikan kita ‘masih mengandalkan BBM dan BB’. Kita lihat beberapa kasus beberapa waktu lalu, ketika cuaca yang buruk mengakibatkan kapal tanker membawa batu bara tidak bisa merapat, yang akhirnya harus ada penghematan bahkan sampai pemadaman listrik secara bergilir, karena terlambat datangnya bahan bakar tersebut.

Selain itu, ada adanya kebijakan PLN ini adalah karena pengurangan subsidi listrik oleh pemerintah untuk tahun 2008. Saya sebenarnya agak setuju jika subsidi dikurangi dan lebih diprioritaskan pada aspek kehidupan lainnya seperti pendidikan atau kesehatan. Memang sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memberikan subsidi kepada masyarakat terutama bagi mereka yang bernasib kurang beruntung. Tetapi terkadang subsidi itu juga dinikmati oleh masyarakat yang hidup mewah. Di Indonesia, seorang eksekutif yang memiliki gaji 10 juta / bulan dan tinggal di kawasan cukup elit di perkotaan dengan daya 2200 VA, ikut menikmati subsidi listrik, yang idealnya hanya dinikmati, maaf, tukang becak yang mungkin hanya bisa memperoleh rata-rata penghasilan 20 – 30 ribu perhari dengan daya 450VA dan tinggal di daerah pinggiran. Sudah sadar dan merasa malu kah sang eksekutif? Jawabannya tidak. Ketimpangan inilah yang terjadi di Indonesia dan belum banyak disadari berbagai pihak terutama pemakai listrik itu sendiri.

Jadi sebenarnya pengenaan insentif dan disinsentif ini sudah mengarah ke aspek keadilan dalam penyampaian subsidi listrik. Karena dari budaya pemakaian listrik di perkotaan lebih banyak digunakan untuk gaya hidup daripada untuk kebutuhan. Lampu taman, aquarium, AC, pemanas air, merupakan beberapa contoh pemakaian listrik untuk gaya hidup. Ini terjadi karena didukung oleh tingkat ekonomi dari masyarakat perkotaan yang sudah lebih baik jika dibandingkan dengan daerah. Pertanyaannya lagi adalah apakah gaya hidup perlu disubsidi?. Hati nurani kita pasti menjawab tidak kan?. Inilah yang perlu direnungkan kembali oleh masayarakat kita. PLN sudah sejak lama mengkampanyekan hemat pemakaian listrik, yang mungkin sempat menjadi bahan diskusi karena aneh melihat PLN menjual listrik tapi menyuruh pelanggannya memakai sesedikit mungkin.

Sekarang kita mengetahui bahwa ternyata ada beban subsidi negara yang sudah berat dan mendorong PLN untuk mengkampanyekan gerakan hemat ini, bahkan Presiden pun mengeluarkan Inpres No 10 tahun 2005 tentang penghematan energi secara nasional. Namun apakah masyarakat secara sukarela dan spontan langsung merubah perilakunya menjadi perilaku yang hemat energi?, sulit dan perlu waktu yang lama apabila hanya diajak melalui sosialisasi atau Inpres tanpa ada reward dan punishment / imbalan dan ’hukuman’. Sementara subsidi listrik semakin membebani APBN sehingga aspek lain seperti pendidikan dan kesehatan menjadi kurang diperhatikan. Dengan pengenaan tarif insentif dan disinsentif ini, masyarakat ’dipaksa’ untuk melakukan penghematan karena dengan demikian subsidi akan lebih terarah, budaya boros akan hilang, karena masyarakat akan semakin berhitung dalam pemakaian listriknya.

Selain itu ada pula pro dan kontra mengenai kebijakan insentif dan disinsentif PLN, sebab masyarakat masih memandang bahwa ini adalah cara PLN untuk menaikkan tarif listri, karena sebagian besar pelanggan PLN menggunakan listrik di atas rata-rata nasional perbulannya. Hal ini tidak hanya pelanggan di kota-kota besar tetapi juga di pedalaman yang masih menggunakan listrik hanya untuk non tv atau lampu saja dan itupun tidak dipakai tiap hari. Seperti di sebuah pedalaman di Kalimantan, ada sebuah keluarga yang di rumahnya hanya ada sebuah televisi, dua kipas angin dan sebuah kulkas yang ternyata pemakaian listrik perbulannya juga selalu diatas nilai rata-rata yang ditetapkan pemerintah. Padahal menurut keluarga tersebut, peralatan listrik di rumah mereka tidak sepanjang hari digunakan

Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa nilai rata-rata penggunaan listrik nasional masih sangat rendah. Kemudian masih banyaknya penduduk yang belum menikmati listrik. Hingga bisa dikatakan bahwa kebijakan ini dianggap akal-akalan PLN untuk menaikan tarif listrik. Kemudian melihat jumlah uang yang harus dibayarkan dari yang terkena insentif dan disinsentif sangat berbeda dan dirasa kurang adil sebab, sehemat apapun berdasarkan perhitungan (lampiran) potongan yang diberikan sangat kecil jika dibandingkan pengeluaran bagi yang terkena disinsentif, jumlah uang yang harus dibayar sangat besar bahkan hampir dua kali lipat nominal yang harus dibayarkan.

Penutup

Namun ketegasan pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan kembali diuji dengan kenyataan bahwa ada perubahan dalam penerapan insentif dan disinsentif ini. Perubahan yang tercetus pada Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta hari Senin (23/4) menyatakan bahwa insentif dan disinsentif ini baru berlaku untuk pelanggan R3 6.600 VA dan baru di lima daerah percontohan seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Riau, Bangka Belitung dan Kalimantan Timur. Kemudian pemerintah (Departemen ESDM) bersama Komisi VII DPR sepakat untuk menaikan subsidi listrik untuk APBN Perubahan 2008 menjadi Rp 61,01 triliun yang semula di APBN 2008 dianggarkan Rp 44 triliun. Kembali, subsidi lagi yang dinaikkan dan dibebankan ke APBN.

Apakah keputusan ini lebih baik dari pada kebijakan yang sebelumnya (menerapkan ke semua pelanggan) atau ini merupakan keadilan yang diberikan oleh pemerintah sebab baru diterapkan kepada pengguna listrik yang tinggi (menengah ke atas/6.600 VA). Kita berharap ini menuju pada hasil yang baik bagi masyarakat indonesia.

Kalau kita berhitung asas manfaat, maka perubahan subsidi di APBN Perubahan 2008 sebesar Rp. 17,01 triliun akan lebih bermanfaat apabila dialihkan ke sektor pendidikan, kesehatan atau mungkin untuk membangun Pembangkit Listrik yang baru sehingga suplai listrik akan bertambah untuk mengimbangi pertumbuhan kebutuhan listrik. Serba salah menjadi pemerintah mengeluarkan kebijakan pasti mengorbankan sesuatu. Listrik naik masyarakat yang terkena imbasnya, tarif listrik tetap tetapi subsidi listrik makin besar, jadi pos anggaran untuk pendidikan kesehatan atau aspek kehidupan sosial masyarakat tidak terperhatikan.

Jika melihat tujuan dari kebijakan tu sendiri adalah untuk mengurangi subsidi pemerintah kepada PLN, hingga bisa berhemat 10 triliun dari subsidi pemeirntah ke PLN 55 triliun, hanya untuk keperluan produksi. Bayangkan jika dana tersebut dialirkan ke bidang-bidang lainnya seperti: pendidikan, maka sekolah gratis di Indonesia bisa terwujud. Maka dengan adanya kebijakan insentif dan disinsentif, diharapkan penghematan pemerintah dapat terwujud dan akan memberikan dampak positif bagi masyarakat keseluruhan. Hanya saja masyarakat sudah menerima pengalaman buruk sebelumnya dengan kenaikan harga pokok, bahan baker sampai minyak goreng. Inilah yang menyebabkan masyarakat apatis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Saya sebagai salah satu pelanggan listrik berpikir, akan semakin berat hidup di Indonesia, mau makan nasi goreng tidak bisa karena minyak goreng mahal, tetapi gimana mau bisa masak minyak tanah saja sudah tidak disubsisdi dan mahalnya setinggi langit, ada kompor konversi wah, takut juga pakainya banyak yang meledak, sama saja simpan granat di rumah. Mau menghibur diri menonton telivisi, ingat tarif listrik sekarang mahal, wah kalau begini bisa seperti hidup di jaman purbakala lagi. Hidup di goa tidak pakai listrik masih pakai kayu bahkan untuk menyalakan api masih menggunakan batu yang digosok, ingat bung, korek saja bahannya pakai BBM. Yah selamat datang kehidupan Flinstone!!!!

Tidak ada komentar: